Tenggelam Dalam Pesona Warni II
Dari bagian 1
Kaki itu terkaget namun lantas diam. Yang kudengar berikutnya adalah desah..
"Mbak.. Kok beginii.. Sih mbaakk.."
Geliatnya membuat aku sedikit menahan kakinya agar tak lepas dari
kulumanku. Lidah dan bibirku merasakan kesat licin pori-pori jari
kakinya. Aku melumatnya hingga kurasakan keringat tipisnya larut dalam
ludahku. Aku menikmati dengan menelannya.
"Saya merinding mbaakk.." tanganku juga mulai mengelus-elusi betisnya.
"Aachh.. Enak banget siihh.." aku lega.
Mulai aku menggigit. Telapak kakinya kujilati dan juga aku menggigitnya. Dia benar-benar menggelinjang.
"Mbaakk.. Ampuunn.. Geli bangett.."
Kini mulai ada perlawanan. Namun bukan untuk menghindar. Itu
perlawanan dalam geliat nikmat hasrat syahwat yang mulai menerpa
sanubari Warni. Aku hanya semakin erat memegangi betisnya. Lidahku
melata dan kugigit tumit Warni. Uucchh.. Tumit ini bak ujung telur ayam
kampung. Begitu indah namun nampak begitu rentan. Dengan halus aku
menjamahnya. Kulepaskan gigitan lembut di atasnya dan kembali keringat
tipis tumitnya larut dalam ludahku yang langsung kusedot menelannya.
Sekali lagi Warni berontak menggeliat. Namun bukannya melawan.
Geliatnya ternyata untuk mengubah posisi. Dia kini tengkurap. Dan yang
kusaksikan adalah sebuah kejutan sensual. Lereng, lembah dan gunung
muncul dari tubuh Warni yang setengah telanjang. Dari arah telapak
kakinya yang sedang dalam pagutanku aku menyaksikan betis yang bak padi
bunting kemudian menjauh nampak lipatan lututnya yang mengandung
kerutan. Disana biasanya tersimpan aroma keringatnya. Lidah dan bibirku
mulai melata naik.
Saat aku mulai menyentuh kemudian melepaskan jilatan serta sedotan kecil bibirku pada betis mulus itu,
"Adduhh.. Mbak Marini.. Enak bangeett.. Teruss mbaakk.. Enak bangett mbakk.."
Walaupun aku sudah menduga sebelumnya, namun suara desah dan racau
Warni ini tetap merupakan kejutan bagiku. Aku merasakan bahwa kini
sepenuhnya kegelisahan syahwatku telah pudar. Hasrat akan cinta sesama
perempuan mendapatkan saluran dengan desah serta rintih Warni ini. Kini
aku mulai meliar tanpa ragu. Aku sedot kuat-kuat betis itu hingga
meninggalkan cupang. Warni menjerit,
"Mbaakk.. diapain akuu.. Mbaakk..." jeritan yang sangat indah merangsang syahwat telingaku.
Tanganku mulai meliar pula. Rabaan-rabaan kulepaskan pada pahanya
serta gundukkan bokongnya. Aku terus melata, ciuman dan kenyotan
bibirku naik merambah pelataran pahanya yang dduuhh.. Sangat
mulusnyaa.. Rupanya semua ini merupakan sensasi bagi Warni. Dia
menggelinjang hebat. Tubuhnya menggeliat-geliat menahan derita nikmat
syahwat. Tangannya bergerak kebelakang langsung meraih rambutku,
"Mbakk.. Terusin Mbaakk.. Teruss mbakk.. Enak mbaakk.."
ditarik-tariknya rambutku. Dia sepertinya ingin agar aku menciumi
bokongnya. Ahh.. Warnii.. Jangan khawatir.. Aku akan menuju ke sana..
Tanpa lagi ragu aku menggiring wajahku menuju bukit kembar
bokongnya yang terbungkus celana dalam putih ini. Aku memang ingin
menikmati aroma bokong berikut celana dalamnya. Aku belum ingin
melepaskan bungkusnya itu.
Aku langsung 'nyungsep' menenggelamkan wajahku ke bokong indah itu.
Aromanya langsung menyergap hidungku. Aku menarik nafas dalam-dalam
untuk sebanyak mungkin menyedoti baunya yang sangat khas.
Ternyata naluria alami Warni berjalan sebagaimana seharusnya.
Gejolak syahwat yang melanda berkat serangan ciumanku menuntun dirinya
untuk bergerak nungging. Dengan kepala beserta dadanya yang merayap di
ranjang dia nagkat pantatnya tinggi-tinggi. Ini artinya dia memberikan
kesempatan padaku untuk sepuasnya menciumi maupun menjilati pantatnya.
Dan tak mungkin kulewatkan.
Lidahku mencari tepian celana dalam itu kemudian menggigitnya.
Dengan mulutku aku perosotkan celana itu hingga pantat Warni
ter-ekspose putih telanjang. Melihat apa yang memang pasti kulihat aku
langsung seperti kerasukkan. Aku menyaksikan sebuah paduan harmonis
dalam bentuk nyata. Sebuah gundukkan licin tanpa cacat mengarah ke
bawah. Nonok Warni menunjukkan cembung bibirnya berikut kelentitnya
yang bak sayap kupu-kupu kembar menunggu kumbang menyentuhnya. Lidahku
mengeluarkan liur.
Lebih naik lagi kulihat sebuah titik pusat yang diseputari
keriputan lembut yang membentuk titik pusat itu. Aku pastikan itulah
lubang dubur Warni. Ooww.. Kenapa lubang itu demikian mempesonaku??
Ahh.. Aku merasakan ada yang mengalir becek dari vaginaku.
Cairan birahiku tak mampu kubendung. Apa yang kusaksikan mendesaki
cairan ini untuk merembes keluar. Aku memang telah sangat terangsang.
Aku ingin selekasnya melepaskan jilatn-jilatanku. Aku ingin menikmati
indahnya lubang dubur Warni di lidahku. Aku mulai melepaskan jilatanku.
Aku mulai dari bawah. Dengan mendesakkan mulutku ke vagina di
selangkangannya aku menjilati bibir vaginanya itu. Aku juga telah
merasakan adanya cairan yang lengket asin. Aku yakin Warni telah
terbakar birahi. Aku semakin liar mendesaki kemaluannya. Aku menyedoti
cairan lengketnya.
Kemudian ciumanku menaik aku merambati bukit terjal mengantar
lidahku menuju lubang duburnya. Warni meracau dan merintih tak
tertahan,
"Mbaakk.. Belum pernah aku nikmat seperti ini mbaakk.. Tolong Mbakk
terusinn yaa.. Aku enak banget mbaakk Marini. Terus jilati ya mbakk.."
ah entah apa lagi racaunya itu.
Duburnya tidak langsung kujilat. Aku membaui dulu. Hidungku
mengusel-uselnya dulu. Aku ingin bau sebenarnya kutangkap sebelum
terkontaminasi dengan ludahku. Aku merasakan bau yang hangat. Bau khas
dan hangat dari lubang dubur.
Uselan hidungku pasti memindah alihkan aroma duburnya itu ke
hidungku. Sesudah itu baru dengan penuh serta merta dan dahsyatnya
nafsu aku menjilati lubang itu. Dduuhh.. Warnii.. Kenapa kamu cepat
pinterr siihh.. Warnii.. Aku sayang kamuu.. Biar aku jilati lubang
taimu aku mau dan sayang kamuu..
Tak kuduga, tiba-tiba Warni seperti kemasukan setan. Dia berteriak histeris dambil bangkit langsung memeluk aku,
"Mbakk, mbakk, mbaakk.. Gimana inii.. Saya jadi seperti inii..
Rasanya haus bangeett.. Tenggorokanku kering bangeett.. Mbakk.. Saya
takuutt.." sambil nampah wajahnya merah, bingung dan ngap-ngapan.
Serta merta aku peluk dia. Aku ciumi pipinya, lehernya, dagunya
kemudian bibirnya. Uuhh.. Ternyata dia langsung merangsek aku. Dia
'terkam' aku dan mencakar punggungku. Seperti serigala betina dia pagut
bibirku dan melumatnya. Dia nampak sangat 'kehausan', dia ingin minum
sebanyak mungkin ludahku, dia benar-benar tak terkendali. Keringatnya
mengucur deras dari seluruh bagian tubuhnya.
Aku langsung mengerti. Semua hal ini adalah 'first time' bagi
Warni. Dia mengalami 'kekagetan syahwat'. Dia merasakan sangat nikmat
namun sekaligus takut, 'ada apa ini', dia asing dengan nikmat yang
melandanya. Dan ciuman-ciumanku menurunkan 'tensi'nya. Dia nampak reda
dan pelan-pelan menjadi tenang.
Saat telah kembali menguasai dirinya dia dengan 'dalam' membalas ciuman dibibirnya,
"Maafin saya ya Mbak.. Sungguh aku tadinya nggak ngerti lho..
Tetapi aduuhh.. Mbak Marini pinter sekali.. Aku merasakan enaakk
bangett.. Aku pengin terus begini mbaakk..."
Ahh.. Aku jadi iba. Warni terlampau lugu. Namun aku juga nggak boleh
setengah jalan. Aku melepasi baju dan rokku. Kini aku setengah
telanjang, tinggal ber-BH dan celana dalam saja. Aku langsung
menurunkan ciumanku ke dadanya, ke ketiaknya, ke tulang iganya. Dia
terus bergelinjangan, namun tak mau berhenti,
"Teruss Mbakk.. Teruss.." dan aku menyambutnya.
Kini aku 'ngusel-usel' perutnya. Kujilati pusernya. Aku jilati
pinggulnya. Tangan-tanganku mulai mencakar lembut paha-pahanya. Juga
jari-jariku mulai menyentuhi bibir vaginanya. Syahwat birahi Warni
menanjak tajam tanpa 'shock'. Dia tetap menjadi menguasai diri.
Sesekali dengus desah dan rintihnya mengiba-iba. Aku yakin dia minta
aku puaskan. Yaa.. Aku akan ke sana.
Lumatan bibir dan jilatan lidahku meluncur turun lagi. Aku
menemukan rambut-rambut halus di seputar kemaluan Warni. Sangat nikmat
menciumi gundukkan kemaluan sementara dagu atau pipi menyentuhi rambut
itu. Kemaluan Warni sungguh mempesona. Sebuah bukit kecil merah ranum,
ditengahnya ada belahan lembut dan lereng kecilnya. Dan lebih ke bawah
lagi aku menemukan gelambir klitoris yang bak sayap kupu-kupu.
Merah bening mewarnai sepasang klitoris itu. Dan yang langsung
menyergap aku adalah aroma pedesaannya. Kemaluan Warni sungguh wangi
seperti akar pandan. Bibirkku langsung melumat tepiannya. Dan seketika
pula rambutku terjamah tangan-tangan Warni yang meremasinya. Dia
menahan gelegak syahwatnya. Serasa dia hendak mencabik rambutku dari
kulit kepalaku. Rasa pedih menjadi penyedap birahiku dalam menjilat dan
melumat-lumat vagina Warni. Sungguh dialah anak perawan desa. Dan
ketika klitorisnya aku emut dan kenyot tak ayal pula dia berteriak
nyaring,
"Aampuunn.. Mbak Marinii.. Jangann.. Hah.. Hahh.. Hahh.. Aammppuunn.." dia benar-benar gelagapan.
Oleh karenanya aku perlu diam sesaat. Aku kembali mengelusi pahanya pelan agar dia tenang lagi.
"Mbaakk.. Enak bangett.. Tetapi saya nggak kuat rasanyaa.."
Namun sambil mengucapkan 'nggak kuat rasanya' Warni merebahkan diri
kembali dengan membiarkan memeknya berada di depan bibirku. Aku maknai
bahwa dia ingin aku meneruskan apa yang telah aku mulai. Kini tanpa
ragu aku langsung mencium kemudian melumati vaginanya. Desah dan
rintihnya bertubi namun kuacuhkan. Lidahku sudah menyeruak jauh ke
lubang vaginanya. Aku rasa cairan birahi Warni telah mengalir deras
sejak awal tadi. Aku sepertinya menyedot kelapa muda. Cairan birahinya
kuteguk-teguk dan kurasai asin kentalnya. Aku tak bosan melumati memek
dengan wangi akar pandan ini.
Warni bergelinjangan. Dia mengangkat-angkat pantatnya. Rasanya dia
berharap aku menusukkan lidahku lebih dalam lagi. Inilah bentuk
kegatalan yang paling puncak. Yang kulakukan kemudian adalah
menyedotnya kuat-kuat. Gelambir klitorisnya ku kenyot-kenyot dan
menggigitnya kecil.
Kini aku gelisah, syahwatku demikian mendesaki wilayah vaginaku.
Serasa pengin kencing. Keringatkupun mulai turun mengucur. Tubuhku
memanas terbakar gelora birahiku sendiori. Aku merasakan kegatalan tak
terhingga pada dinding vaginaku. Aku ingin menggaruk. Dengan apa?
Sementara Warni tengah mendaki puncak syahwatnya. Pantatnya naik
turun dengan semakin tak terkendali. Gatal vaginanya untuk menjemputi
lumatan bibir dan jilatan lidahku. Aku rasa beberapa detik ke depan dia
akan histeris menyambut orgasmenya. Aku cepat bergeser menindih kedua
tungkai kakinya. Aku pepetkan selangkanganku tepat ke salah satu
lututnya. Aku menggesek-gesekkan vaginaku ke lutut Warni untuk
menyalurkan kegatalan vaginaku. Warni abai. Dia hanya berurusan dengan
orgasmenya yang semakin mendekat. Dan..
"Hoocchh.. Hhoocchh.. Hhaacchh.. Hhoocchh.. Mbak Marinii.. Ampuunn.. Mbakk.. Mbaakk.."
Dia peluk aku dengan tangannya yang juga mencakar. Barut-barut
langsung menandai punggungku. Rasa pedih langsung kurasakan. Namun rasa
pedih itu berbarengan pula dengan nikmat yang melanda aku..
Ahh.. Bisa jugaa akhirnyaa.. Aku dan Warni meraih orgasme secara
bersama. Namun aku tak langsung berhenti. Aku masih menggeseh-gesekkan
kemaluanku pada lutut Warni. Sementara puncratan cairan birahi Warni
terus menderas keluar dari memeknya. Aku menampung dalam penuh mulutku.
Aku meminumnya. Aku menelan rasa asinnya. Sungguh cairan perawan ini
sewangi akar pandan dan mengingatkan pada legit air kelapa muda. Dd..
Duhh.. Duhh.. Warnikuu..
Demikianlah aku menikmati perawan Warni. Malam itu dia menjadi
kekasihku sepenuhnya. Kami menjadi sepasang kekasih yang saling
menikmati madu. Rasanya tak kenal waktu. Menjelang subuh baru kami
terlena.
Pelampiasan syahwat sesama perempuan antara aku dan Warni
berlangsung hingga Bu Mitro balik. Selama 5 hari tak ada waktu untuk
yang lain. Kami saling memanjakan, memberi dan menerima dengan segala
kepuasan syawati. Aku sangat menyayanginya dan sebaliknya Warni
menyayangi aku.
Memang yang terbaik kemudian adalah mengakhirinya. Warni balik
mesti bekerja untuk Bu Mitro dan aku kembali melayani Mas Aditya
suamiku.
Tak kusangkal, pada waktu-waktu tertentu apabila ada kesempatan aku dan Warni kembali berasyik masyuk.
Bogor, Oktober 2004
E N D
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
1576